Oleh Moh. Mahfud MD
PEMBUKAAN UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, menajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Adanya tujuan nasional tersebut mengakibatkan bahwa kewajiban mencerdaskan bangsa melekat pada eksistensi negara. Dengan kata lain, bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsalah maka negara Indonesia dibentuk.
Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, terutama tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, harus dicapai melalui proses pendidikan. Pendidikan pada dasarnya merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal dan berpikiran. Proses pendidikan itu sendiri berlangsung sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat dan bisa didapat di mana saja dan kapan saja. Dalam pemenuhannya di lapangan, pendidikan dapat dilakukan melalui jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenisnya.
UUD 1945 menempatkan bidang pendidikan dalam derajat keseriusan yang tinggi, terbukti dengan adanya rumusan pasal khusus tentang pendidikan. Pasal-pasal tersebut mengatur mulai dari hak warga negara mendapatkan pendidikan sampai dengan peran pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pendidikan sebenarnya juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, seperti termaktub dalam Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945.
Hak konstitusional
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 jelaslah bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Atau dengan kata lain, hak mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam konstitusi, yang lazim dipahami sebagai hak konstitusional warga negara. Hak konstitusional adalah hak-hak dasar yang kemudian diadopsi dalam konstitusi yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan berlaku bagi setiap warga negera Indonesia.
Mengingat fungsi utama UUD ialah memberikan perlindungan terhadap individu dan hak-hak dasar dari individu-individu tersebut terutama warga negara, maka ketika hak dasar sudah dijamin di dalam konstitusi maka hak dasar itu menjadi hak konstitusional. Di negara hukum, hak-hak dasar atau hak asasi (basic right) setiap warga negara yang kemudian menjadi hak konstitusional bukan sekadar harus dihormati dan dilindungi, melainkan juga harus dijamin pemenuhannya.
Atas dasar itulah, hak hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya menimbulkan kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi, tetapi menimbulkan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Agar tanggung jawab negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945 misalnya, melalui Pasal 31 Ayat (2) mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya. Bahkan, negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara itulah pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, hadir di tengah masyarakat dalam upaya mewujudkan visi pendidikan nasional. Keberadaan perguruan tinggi sangat penting bagi sebuah bangsa. Dari perguruan tinggi inilah lahir orang-orang dengan kapasitas dan kualifikasi yang baik sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan bangsa dan tantangan zaman yang demikian dinamis. Itu pula sebabnya, perguruan tinggi kerap disebut sebagai lahan penyemaian generasi mendatang yang memiliki karakter pembaharu, memiliki tradisi dan budaya intelektual serta memiliki gagasan-gagasan baru dalam menyikapi dan menjawab persoalan kehidupan.
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara ialah “...mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalau menurut logika pemikiran pendiri negara ini, frasa “...mencerdaskan kehidupan bangsa” menegaskan makna bahwa dalam bidang pendidikan, tidak semata-mata hanya otak yang perlu dicerdaskan, melainkan kehidupan bangsa dalam arti lebih luas. Yang dikatakan cerdas bukan hanya karena seseorang mampu mengetahui dan memahami serta bisa melakukan sesuatu berdasarkan rasio dan logika-logika ilmiah, melainkan orang itu harus bisa mengetahui serta mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Penerapan kecerdasan semacam itu berupa pemikiran serta tindakan yang baik dan menghindari pemikiran serta perilaku buruk.
Praktik pengembangan iptek
Dalam pandangan saya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan dalam pendidikan kita, terutama di perguruan tinggi, harus senantiasa didasarkan pada prinsip keilmuan dengan prinsip-prinsip: Pertama, ilmu itu bersifat integral, tidak dikotomis. Kita masih sering menemukan praktik pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) acapkali secara tegas mendikotomikan ilmu umum dan ilmu agama. Seseorang, misalnya, disebut terpelajar kalau sudah lulus dari sekolah umum, sedangkan kalau lulusan madrasah atau pesantren dianggap tidak terpelajar. Bahkan lulusan pesantren tak digolongkan sebagai ilmuwan, karena dianggap hanya mampu memimpin ritual-ritual keagamaan. Padahal, semua ilmu sesungguhnya bersumber dari agama. Oleh karena itu, tidak seharusnya terdapat dikotomi atau pemisahan antara ilmu agama dan ilmu nonagama.
Kedua, dalam penerapannya, ilmu harus memihak atau tidak netral. Iptek haruslah selalu memihak, yakni memihak kepada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Pengembangan iptek tak boleh dilakukan klau hanya bertujuan menimbulkan kekisruhan, mengancam dan membahayakan umat manusia. Oleh sebab itu, mahasiswa di kampus-kampus harus dididik dengan akhlak, dengan etika, toleransi dan kesantunan menghadapi orang lain, lingkungan, dan alam. Itu pula sebabnya, meskipun metodologi harus tetap netral, iptek harus memihak. Karya-karya ilmiah dan teknologi hasil pengembangan iptek harus selalu diarahkan untuk memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat, sehingga keberadaan ilmu tak lain adalah untuk kemaslahatan.
Ketiga, kebenaran ilmiah bukan berdasarkan otak dan logika belaka, sebab bisa saja kebenaran ilmiah bersumber dari hal-hal yang tidak logis. Dalam pengembangan iptek, rasio boleh dikedepankan, tetapi rasionalisme harus dihindari. Patut dicatat bahwa kebenaran yang terjadi di hadapan kita bukan hanya benar yang sesuai logika atau masuk akal. Kebenaran itu bisa logis dan bisa tidak logis. Ada hal-hal gaib tertentu yang tidak akan pernah dicapai oleh logika manusia. soal roh manusia, misalnya, sampai sekarang tidak ada akal dan logika yang bisa memberikan penjelasan betapapun majunya ilmu pengetahuan kita, termasuk ilmu kedokteran.
Di dalam ilmu pengetahuan sekuler, terutama aliran positivisme, dikatakan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang bisa dihitung secara eksak dan matematis, sehingga sesuatu yang di luar itu dianggap tidak benar karena tidak ilmiah. Sementara, apa yang disebut logis itu sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa bisa dijelaskan juga secara logis. Perlu saya kemukakan bahwa kebenaran tidak hanya terbatas pada kebenaran ilmiah. Banyak hal-hal gaib yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah, tetapi terjadi secara nyata di depan mata kita.
Menjadi manusia paripurna
Di dalam Alquran, Allah mengatakan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang percaya pada hal-hal gaib. Allah sendiri adalah Zat Yang Maha Gaib, yang kemudian menciptakan kegaiban-kegaiban lainnya seperti mukjizat para Nabi, karomah para Wali, bahkan juga kegaiban-kegaiban yang dimiliki oleh tukang sihir dan tukan sulap. Hal-hal yang gaib itu tidak masuk akal tetap faktanya bisa dilihat atau dirasakan, mengapa, karena semua itu merupakan bagian dari ilmu Allah. Dengan kata lain, hal-hal yang tidak ilmiah dan tidak logis bukan sesuatu yang mustahil merupakan sesuatu kebenaran.
Berdasarkan filosofi pengembangan ilmu tersebut, pendidikan bukanlah sekadar upaya memberantas buta huruf, melainkan juga ikhtiar memberantas buta hati dan buta moral. Pendidikan tidak hanya sebagai usaha untuk mengentaskan manusia dari kebodohan akal pikir, melainkan jauh melampaui hal itu yaitu mengankat derajat seseorang manusia menjadi manusia Indonesia yang paripurna, yang cerdas lahir dan batin.
* Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Artikel ini merupakan cuplikan Pidato Ilmiah yang disampaikan pada Upacara Hari Jadi Ke-51 Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), di Banda Aceh pada 31 Agustus 2012.
PEMBUKAAN UUD 1945 menyatakan bahwa tujuan nasional adalah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, menajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa salah satu tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Adanya tujuan nasional tersebut mengakibatkan bahwa kewajiban mencerdaskan bangsa melekat pada eksistensi negara. Dengan kata lain, bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsalah maka negara Indonesia dibentuk.
Untuk mewujudkan tujuan nasional tersebut, terutama tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, harus dicapai melalui proses pendidikan. Pendidikan pada dasarnya merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang berakal dan berpikiran. Proses pendidikan itu sendiri berlangsung sejak dalam kandungan sampai ke liang lahat dan bisa didapat di mana saja dan kapan saja. Dalam pemenuhannya di lapangan, pendidikan dapat dilakukan melalui jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenisnya.
UUD 1945 menempatkan bidang pendidikan dalam derajat keseriusan yang tinggi, terbukti dengan adanya rumusan pasal khusus tentang pendidikan. Pasal-pasal tersebut mengatur mulai dari hak warga negara mendapatkan pendidikan sampai dengan peran pemerintah untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pasal 31 UUD 1945 mengamanatkan: (1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pendidikan sebenarnya juga merupakan bagian dari hak asasi manusia, seperti termaktub dalam Pasal 28C Ayat (1) dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945.
Hak konstitusional
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 jelaslah bahwa mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Atau dengan kata lain, hak mendapatkan pendidikan merupakan hak setiap warga negara yang dijamin dalam konstitusi, yang lazim dipahami sebagai hak konstitusional warga negara. Hak konstitusional adalah hak-hak dasar yang kemudian diadopsi dalam konstitusi yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945 dan berlaku bagi setiap warga negera Indonesia.
Mengingat fungsi utama UUD ialah memberikan perlindungan terhadap individu dan hak-hak dasar dari individu-individu tersebut terutama warga negara, maka ketika hak dasar sudah dijamin di dalam konstitusi maka hak dasar itu menjadi hak konstitusional. Di negara hukum, hak-hak dasar atau hak asasi (basic right) setiap warga negara yang kemudian menjadi hak konstitusional bukan sekadar harus dihormati dan dilindungi, melainkan juga harus dijamin pemenuhannya.
Atas dasar itulah, hak hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan tidak hanya menimbulkan kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi, tetapi menimbulkan tanggung jawab negara untuk memenuhi hak warga negara tersebut. Agar tanggung jawab negara dapat dipenuhi dengan baik maka UUD 1945 misalnya, melalui Pasal 31 Ayat (2) mewajibkan kepada pemerintah untuk membiayainya. Bahkan, negara harus memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam rangka memenuhi hak konstitusional warga negara itulah pendidikan tinggi, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, hadir di tengah masyarakat dalam upaya mewujudkan visi pendidikan nasional. Keberadaan perguruan tinggi sangat penting bagi sebuah bangsa. Dari perguruan tinggi inilah lahir orang-orang dengan kapasitas dan kualifikasi yang baik sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan bangsa dan tantangan zaman yang demikian dinamis. Itu pula sebabnya, perguruan tinggi kerap disebut sebagai lahan penyemaian generasi mendatang yang memiliki karakter pembaharu, memiliki tradisi dan budaya intelektual serta memiliki gagasan-gagasan baru dalam menyikapi dan menjawab persoalan kehidupan.
Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan negara ialah “...mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kalau menurut logika pemikiran pendiri negara ini, frasa “...mencerdaskan kehidupan bangsa” menegaskan makna bahwa dalam bidang pendidikan, tidak semata-mata hanya otak yang perlu dicerdaskan, melainkan kehidupan bangsa dalam arti lebih luas. Yang dikatakan cerdas bukan hanya karena seseorang mampu mengetahui dan memahami serta bisa melakukan sesuatu berdasarkan rasio dan logika-logika ilmiah, melainkan orang itu harus bisa mengetahui serta mampu memilah mana yang baik dan mana yang buruk. Penerapan kecerdasan semacam itu berupa pemikiran serta tindakan yang baik dan menghindari pemikiran serta perilaku buruk.
Praktik pengembangan iptek
Dalam pandangan saya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan dalam pendidikan kita, terutama di perguruan tinggi, harus senantiasa didasarkan pada prinsip keilmuan dengan prinsip-prinsip: Pertama, ilmu itu bersifat integral, tidak dikotomis. Kita masih sering menemukan praktik pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) acapkali secara tegas mendikotomikan ilmu umum dan ilmu agama. Seseorang, misalnya, disebut terpelajar kalau sudah lulus dari sekolah umum, sedangkan kalau lulusan madrasah atau pesantren dianggap tidak terpelajar. Bahkan lulusan pesantren tak digolongkan sebagai ilmuwan, karena dianggap hanya mampu memimpin ritual-ritual keagamaan. Padahal, semua ilmu sesungguhnya bersumber dari agama. Oleh karena itu, tidak seharusnya terdapat dikotomi atau pemisahan antara ilmu agama dan ilmu nonagama.
Kedua, dalam penerapannya, ilmu harus memihak atau tidak netral. Iptek haruslah selalu memihak, yakni memihak kepada keselamatan dan kesejahteraan umat manusia. Pengembangan iptek tak boleh dilakukan klau hanya bertujuan menimbulkan kekisruhan, mengancam dan membahayakan umat manusia. Oleh sebab itu, mahasiswa di kampus-kampus harus dididik dengan akhlak, dengan etika, toleransi dan kesantunan menghadapi orang lain, lingkungan, dan alam. Itu pula sebabnya, meskipun metodologi harus tetap netral, iptek harus memihak. Karya-karya ilmiah dan teknologi hasil pengembangan iptek harus selalu diarahkan untuk memberikan sebesar-besarnya manfaat bagi masyarakat, sehingga keberadaan ilmu tak lain adalah untuk kemaslahatan.
Ketiga, kebenaran ilmiah bukan berdasarkan otak dan logika belaka, sebab bisa saja kebenaran ilmiah bersumber dari hal-hal yang tidak logis. Dalam pengembangan iptek, rasio boleh dikedepankan, tetapi rasionalisme harus dihindari. Patut dicatat bahwa kebenaran yang terjadi di hadapan kita bukan hanya benar yang sesuai logika atau masuk akal. Kebenaran itu bisa logis dan bisa tidak logis. Ada hal-hal gaib tertentu yang tidak akan pernah dicapai oleh logika manusia. soal roh manusia, misalnya, sampai sekarang tidak ada akal dan logika yang bisa memberikan penjelasan betapapun majunya ilmu pengetahuan kita, termasuk ilmu kedokteran.
Di dalam ilmu pengetahuan sekuler, terutama aliran positivisme, dikatakan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang bisa dihitung secara eksak dan matematis, sehingga sesuatu yang di luar itu dianggap tidak benar karena tidak ilmiah. Sementara, apa yang disebut logis itu sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa bisa dijelaskan juga secara logis. Perlu saya kemukakan bahwa kebenaran tidak hanya terbatas pada kebenaran ilmiah. Banyak hal-hal gaib yang tak bisa dijelaskan secara ilmiah, tetapi terjadi secara nyata di depan mata kita.
Menjadi manusia paripurna
Di dalam Alquran, Allah mengatakan bahwa orang yang bertakwa adalah orang yang percaya pada hal-hal gaib. Allah sendiri adalah Zat Yang Maha Gaib, yang kemudian menciptakan kegaiban-kegaiban lainnya seperti mukjizat para Nabi, karomah para Wali, bahkan juga kegaiban-kegaiban yang dimiliki oleh tukang sihir dan tukan sulap. Hal-hal yang gaib itu tidak masuk akal tetap faktanya bisa dilihat atau dirasakan, mengapa, karena semua itu merupakan bagian dari ilmu Allah. Dengan kata lain, hal-hal yang tidak ilmiah dan tidak logis bukan sesuatu yang mustahil merupakan sesuatu kebenaran.
Berdasarkan filosofi pengembangan ilmu tersebut, pendidikan bukanlah sekadar upaya memberantas buta huruf, melainkan juga ikhtiar memberantas buta hati dan buta moral. Pendidikan tidak hanya sebagai usaha untuk mengentaskan manusia dari kebodohan akal pikir, melainkan jauh melampaui hal itu yaitu mengankat derajat seseorang manusia menjadi manusia Indonesia yang paripurna, yang cerdas lahir dan batin.
* Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK). Artikel ini merupakan cuplikan Pidato Ilmiah yang disampaikan pada Upacara Hari Jadi Ke-51 Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), di Banda Aceh pada 31 Agustus 2012.